Selasa, 05 Mei 2009

Telaah Konsep Piagam Madina dengan UUD 1945

Mempelajari suatu negara tidak terlepas dari sebuah aturan dasar yang mengikat (binding power) bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang disebut dengan konstitusi. Dari konstitusi tersebut dapat diketahui bentuk negara, corak pemerintahan, jaminan hak asasi warga, hak dan kewajiban warga negara, serta hubungan konstitusional antara warga negara dan pemerintahannya.
Ahmad Sukarja memilih perbandingan konstitusi antara Piagam Madinah dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai tema sentral dalam disertasinya ketika melanjutkan studi Program Pasca Sarjana di Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam Negeri) Jakarta. Dari perbandingan tersebut akan diketahui apakah ada kesamaan dan perbedaan di antara keduanya dari segi proses pembentukan, format dan materi konstitusinya. Dan juga perlu diteliti keterkaitan konsepsional antara Piagam Madinah sebagai konstitusi masa lampau dengan UUD 1945 sebagai konstitusi masa kini.
B. Pembatasan Masalah
Kajian dari disertasi ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan mendasar yaitu “apakah Piagam Madinah dapat memenuhi syarat sebagai suatu konstitusi modern seperti UUD 1945?” dan “apakah UUD 1945 mempunyai relevansi dengan nilai transendental seperti pada Piagam Madinah?”.
Pertanyaan tersebut akan dibahas dengan menjabarkan faktor-faktor yang dihadapi dan menyertai dalam pembentukan Piagam Madinah dan UUD 1945 seperti:
1. Kondisi geografis, demografis, sosial budaya, politik, dan agama di Jazirah Arab dan Indonesia;
2. Keotentikan, bentuk, sifat, kedudukan, dan wilayah berlakunya naskah kedua konstitusi tersebut;
3. Format dan materi kedua konstitusi tersebut;
4. Pelaksanaan Piagam Madinah dan UUD 1945
Untuk mengkajinya penulis mengumpulkan beberapa literatur sebagai referensi yang diperlukan guna menjawab pertanyaan mendasar tersebut di atas. Teori-teori yang terdapat dalam literatur tersebut menurut penulis masih relevan dengan kedua konstitusi tersebut, khususnya yang berkaitan dengan negara hukum dan Islam.
A. Teori yang Berkaitan dengan Negara Hukum dan Konstitusi
Secara umum, definisi suatu komunitas dikatakan sebagai negara adalah apabila mempunyai empat unsur pokok yaitu memiliki rakyat atau sejumlah orang, wilayah tertentu, dan pemerintahan yang berwibawa dan berdaulat serta mendapat pengakuan dari negara lain atau dunia internasional.
Pemikiran negara hukum dimulai sejak jaman Plato yang dikenal dengan istilah Nomoi yaitu bahwa penyelenggaran negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Ide tentang negara hukum (rechsstaat) berkembang mulai abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme sehingga masyarakat menginginkan kebebasan dalam bertindak dan mencari penghidupan.
Immnuel Kant memahami negara hukum sebagai Nachtwaker staat (“negara sebagai penjaga malam”) yang bertugas menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat. Gagasan negara hukum menurut konsep Kant ini dinamakan apa yang disebut dengan negara hukum liberal.
Konsep Friedrich Julius Stahl mengenai negara hukum ditandai empat unsur pokok yaitu (1) pengakuan terhadap perlindungan HAM, (2) didasarkan pada trias politik, (3) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang serta (4) terdapat permasalahan peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah. Gagasan Kant dikenal sebagai konsep negara hukum formiil (rechsstaat), yang diadopsi oleh negara Eropa Kontinental, termasuk Indonesia, karena lebih menekankan pada pemerintahan berdasarkan undang-undang.[1]
Di negara Anglo Saxon berkembang pula konsep negara hukum, yang dipelopori oleh A.V. Dicey (ahli hukum Inggris), yang dinamakan rule of law. Unsur utama dari konsep ini adalah supremasi hukum, persamaan di muka hukum, konstitusi berdasarkan hak-hak perseorangan.
Perbedaan yang menonjol antara konsep rechtsstaat dengan rule of law adalah adanya peradilan administrasi yang terdapat pada rechsstaat. Sebaliknya masyarakat di negara Anglo-Saxon masih percaya kepada sistem peradilan umumnya.
Adanya negara hukum tidak terlepas dari salah satu unsur pembentuknya yaitu konstitusi sebagai dasar berpijak bagi negara dalam menjalankan roda pemerintahannya. Kebutuhan akan konstitusi merupakan keniscayaan bagi suatu negara sebagai hukum dasar yang mengikat menurut prinsip kedaulatan yang dianut. Jika yang dianut kedaulatan rakyat maka sumber legitimasi adalah rakyat. Sedangkan bila yang dianut kedaulatan raja, maka raja yang menentukan materi konstitusi itu.
Awal mula gagasan konstitusialisme berawal dari kebudayaan Yunani Kuno meskipun secara etimologis, kekaisaran Romawi pertama kali mencantumkannya dalam kitab-kitab Hukum Romawi sehingga menjadi rujukan awal penggunaan istilah konstitusi.
Istilah konstitusi (constituer) sendiri berasal dari bahasa Prancis yang berarti membentuk. Sedangkan di negara-negara berbahasa Inggris mengunakan istilah constitution. Secara sederhana, konstitusi era Romawi dalam bentuk bahasa latin diistilahkan sebagai the acts of legislation by the Emperor. [2]Kemudian istilah tersebut berkembang menjadi yang kini dipakai, yaitu merupakan kerangka dasar bagi suatu organisasi atau negara, yang berisi aturan-aturan yang berasal dari konsep pikiran manusia maupun kebiasaan, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Konstitusi suatu negara dalam arti sempit sering dinamakan sebagai Undang-undang Dasar (Gronwet) sebagai norma hukum yang tertulis. Sedangkan dalam arti luas, selain berbentuk peraturan yang tertulis, konstitusi juga berbentuk nilai atau norma yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaran negara. Inggris dan Israel merupakan contoh negara konstitusional, yang sampai saat ini, merupakan negara yang tidak mempunyai suatu naskah tertulis seperti negara lain.
Apa yang seharusnya menjadi materi pokok dari konstitusi tidak pernah diuraikan secara jelas. K.C. Wheare berpendapat bahwa ada dua pendapat yang berbeda satu sama lain. Ada yang menganggap konstitusi semata-mata hanya berisi aturan-aturan hukum saja. Pendapat yang lain mengatakan bahwa konstitusi tidak hanya berisi kaidah hukum saja, melainkan berisi pernyataan tentang keyakinan, prinsip, dan cita-cita.
Menurut Mr. J. G. Steenbeek, sebagaimana dikutip Sri Soemantri dalam disertasinya menggambarkan bahwa ada tiga hal pokok yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi, yaitu (1) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya; (2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.
B. Negara Hukum dan Konstitusi Menurut Pandangan Islam
Dilatarbelakangi oleh besarnya peranan gereja terhadap negara pada abad pertengahan, Augustinus, dalam bukunya De Civitate Dei, mengemukakan teori negara dengan pendekatan teologis dimana negara terbagi menjadi negara Tuhan (Civitas Dei atau teokrasi) dan negara iblis (Civitas Terrena atau diaboli).[3] Yang dinamakan negara iblis dapat disamakan dengan negara sekuler. Negara Tuhan atau teokrasi di negara Barat perlahan-lahan mengalami pergesaran dan perubahan dari waktu ke waktu, bahkan berbalik 180⁰ menjadi negara sekuler.
Ibnu Khaldun, seorang pemikir Islam yang diakui eksistensinya oleh para sarjana barat, menemukan suatu tipologi negara hukum dengan tolak ukur kekuasaan yaitu :
1. Negara dengan ciri kekuasaan alamiah; yang sewenang-wenang (despotisme) dan cenderung menerapkan hukum rimba dalam praktek kenegaraannya
2. Negara dengan ciri kekuasaan politik; yang terbagi menjadi tiga macam yaitu:
a. negara hukum atau nomokrasi (siyasah diniyah) bersumber pada agama dan rasio manusia;
b. negara hukum sekuler (siyasah ‘aqliyah) hanya bersumber pada rasio manusia;
c. negara ala “republik” Plato (siyasah madaniyah).[4]
Konsepsi pemikiran nomokrasi berbeda dengan teokrasi. Kalau teokrasi dirumuskan sebagai bentuk pemerintahan yang mengakui bahwa pemuka agama sebagai wakil Tuhan/dewa atau “penguasa dekat”. Bisa dikatakan bahwa teokrasi merupakan “lembaga kekuasaan rohani”. Sebaliknya, nomokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang biasa, bukan pemuka agama, yang didasarkan pada hukum Tuhan, disamping rasio manusia sebagai sumber hukumnya.
Nomokrasi Islam memiliki prinsip-prinsip umum bernegara yang tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah yaitu kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, keadilan, persamaan, pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia, peradilan bebas, perdamaian, kesejahteraan, serta ketaatan rakyatnya.
Berbeda dengan nomokrasi, negara hukum sekuler memisahkan sendi-sendi kehidupan manusia seperti politik, ekonomi, pendidikan, kenegaraan, sosial, budaya, dan hukum dari pengaruh agama atau hal-hal yang gaib. Paham ini banyak dianut oleh negara yang berhaluan liberalisme dan komunisme. Agama dalam pemahaman Barat adalah suatu keyakinan pribadi manusia terhadap sesuatu yang gaib (Tuhan/dewa) yang dimanifestasikan dalam ritual peribadatan dan tidak ada hubungannya dengan aspek kemasyarakatan dan kenegaraan.
Ibnu Khaldun berhipotesa bahwa makin tinggi tingkat peradaban manusia, makin baik tipe negaranya. Ciri ideal dari suatu negara adalah kombinasi antara syariah dan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan manusia dengan menggunakan akalnya. Jadi suatu tingkat peradaban yang tinggi semata-mata belum tentu mengandung implikasi bahwa suatu negara dikatakan ideal.[5]
Menurut pemikiran Barat, wilayah hukum pun tidak terlepas dari sterilisasi agama. Namun demikian, Stahl berpendapat bahwa hukum juga memperoleh kekuatan mengikat dari ordonansi Ketuhanan yang menjadi sandaran negara karena ia membantu mempertahankan tata tertib dunia Ketuhanan. Bahkan hukum terburukpun masih mempunyai sifat Ketuhanan dalam bentuk sanksi[6]
Menurut Robert Garaudy, di dalam hukum Islam tidak ada immobilisme (kebekuan) tetapi ia mengandung nilai keabadian yang tidak bertentangan dengan validitas yang kreatif dan permanen. Dalam istilah lain hukum Islam disebut sebagai syariah. Istilah ini menunjuk kepada hukum yang ditetapkan Allah bagi manusia yang bersumber kepada agama Islam.
Rasio manusia menjadi sumber hukum utama dalam konsep Barat. Sedangkan akal manusia bagi Islam hanya bersifat komplementer bagi sumber hukum Islam, selain al-Quran dan Sunnah Nabi. Adapun substansi hukum Islam jelas mencakup bidang yang lebih luas dibandingkan dengan konsep hukum barat. Hukum Barat membatasi substansi pada aturan tingkah laku manusia yang normatif saja, sedangkan hukum Islam mencakup pula kesusilaan. Orientasi hukum Islam bukan hanya untuk kepentingan keduniawian semata tetapi juga untuk kepentingan akhirat.
Dalam hukum Islam tidak ada dikotomi baik, antara agama dengan negara maupun antara agama dengan hukum. Untuk memperkuat pendirian tersebut, Tahir Azhari mengintrodusir suatu teori yang dinamakan “Teori Lingkaran Konsentris” yang menghimpun agama, hukum, dan negara menjadi satu kesatuan lingkaran yang saling berkaitan erat satu sama lain dimana agama menjadi lingkaran terdalam/inti/sumber dari lingkaran konsentris. Hukum menjadi lingkaran selanjutnya yang melingkupi agama disamping rasio manusia sebagai sumber hukum. Negara merupakan komponen terluar dalam lingkaran konsentris yang mencakup negara dan agama. Bila digambarkan hubungan agama, hukum, dan negara dalam lingkaran konsentris.[7]
Negara
Hukum
Agama
Negara hukum Indonesia, menurut Oemar Senoadji, memiliki ciri-ciri khas Indonesia yang berfalsafah dasar Pancasila dan bukan semata-mata mengadopsi total pada konsep rechsstaat yang identik dengan negara hukum di Eropa Kontinental. Salah satu ciri pokok yang menonjol dari negara hukum Pancasila adalah jaminan kebebasan beragama yang berkonotasi positif, artinya tiada tempat bagi penganut ateisme atau propaganda anti agama di Indonesia. Hal tersebut berbeda dengan kebanyakan di negara Barat bahwa tidak percaya dengan Tuhan dan agama sama dengan beragama. Sedangkan ciri yang lain adalah tiadanya pemisahan antara agama dengan negara dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Di lingkungan masyarakat muslim, terdapat tiga kategori hukum dalam pandangan Islam yang digunakan sebagai sumber perundang-undangan yaitu:
1. Syariat
Ketentuan/Hukum Allah dan Rasul Allah yang berkaitan dengan subjek hukum, berupa perbuatan melakukan suatu, memilih dan menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang, yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul.
Syariat mempuyai sifat tetap dan seyogyanya tidak ada perbedaan pendapat terhadapnya. Contoh: Rukun Islam serta sikap adil, jujur, dan amanah.
2. Fikih
Ilmu atau pemahaman tentang hukum syariat, hasil ijtihad/pemahaman para ulama, yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci.
Fikih berkembang dan terbuka terhadap pendapat lain sesuai perkembangan jaman dan intelektual penyusunnya.
3. Siyasah Syariah (Hukum Kenegaraan)
Kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan atau Al Qawanin (Peraturan Perundang-undangan) yang dikehendaki kemaslahatannya, melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tiada dalil tertentu.
Nilai dan norma transendental (keilahian) menjadi pijakan bagi pembentukan peraturan hukum bagi yang berwenang. Selain Syariat sebagai sumber pokok, sumber lain yang dijadikan dasar penyusunan Siyasah Syariah adalah perilaku manusia dan lingkungannya sendiri seperti doktrin, hukum adat, pengalaman manusia, dan warisan budaya yang tidak bertentangan dengan Wahyu Allah.
Selain siyasah syariah, siyasah wadha’iyat termasuk peraturan perundang-undangan yang dibuat manusia yg bersumber pada manusia dan lingkungannya sendiri. Namun tidak semua siyasah wadha’iyat ditolak pelaksanaannya selama ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran dan ruh Islam.[8]
Suatu peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan sebagai produk hukum bersifat Islami apabila isi dan prosedur pembentukannya memenuhi syarat :
1. Peraturan itu meletakkan persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Equity before Law)
2. Tidak bertentangan secara hakiki dengan syariat islam
3. Tidak memberatkan masyarakat
4. Untuk menegakkan keadilan
5. Dapat mewujudkan kemaslahatan dan menjauhkan dari kemudharatan
6. Prosedur pembentukannya melalui musyawarah
Menurut Prof.A.W. Khallaf, dilihat dari keabsahannya, siyasah dapat dibedakan menjadi siyasah yang adil (haq) dan siyasah yang zalim (batil). Tolak ukur keabsahannya adalah peraturan perundang-undangan tersebut sesuai atau tidak dengan syariat agama/wahyu Allah. Adakalanya siyasah yang adil bercampur dengan siyasah yang zalim misalnya RUU Perkawinan sekuler, Perjudian berkedok sumbangan berhadiah.
Menurut Imam Malik, sumber-sumber syariah memuat kepentingan dan kemaslahatan umat apabila memenuhi tiga syarat yaitu:
1. Kepentingan umum tersebut bukan hal-hal yang berkenaan dengan peribadatan
2. Kepentingan umum harus selaras dengan jiwa syariah dan tidak boleh bertentangan dengan salah satu sumber syariah itu sendiri
3. Kepentingan umum tersebut harus merupakan sesuatu yang esensial dan bukan hal yang bersifat kemewahan.
A. Latar Belakang Pembentukan Konstitusi
Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah dianggap sebagian ilmuwan merupakan konstitusi tertulis pertama yang dibuat pasca hijrahnya Rasululllah (awal 622 masehi). Piagam politik tersebut ditujukan untuk mengatur tata kehidupan diantara seluruh penghuni Madinah, yang berisi antara lain kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan lain-lain.
Motivasi dibalik pembentukan Piagam Madinah tersebut adalah Masyarakat Arab, khususnya umat Islam, selama kurun waktu kurang lebih 13 tahun terhitung sejak diangkatnya Muhammad saw sebagai Rasul belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menyatukan berbagai golongan yang majemuk.
Para ahli ilmu pengetahuan, terutama ahli sejarah menyebut naskah politik Muhammad saw dengan bermacam-macam nama antara lain constitution of Medina, treaty, charter, agreement, piagam, dan Al-shahifah, nama yang disebut dalam naskah itu sendiri.
Seperti Piagam Madinah, UUD 1945 juga merupakan dokumen politik tertulis. UUD 1945 dibuat para founding fathers dan dipersiapkan dan dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan dua masa sidang, yaitu tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan dan tanggal 10-17 Juli 1945.
Tugas pokok badan ini semula untuk merancang Undang-undang Dasar sebagai salah satu persiapan kemerdekaan yang dijanjikan oleh Pemerintah Jepang. Namun seiring berjalannya waktu, BPUPKI berhasil membentuk Panitia Sembilan untuk merumuskan dasar Negara Pancasila dan mencapai kompromi untuk menyetujui sebuah Mukadimah UUD, yang saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Sejarah terbentuknya Piagam Madinah dan UUD 1945 tidak terlepas dari berbagai faktor dan situasi kondisi pada saat konstitusi tersebut dibuat. Dalam disertasinya, Ahmad Sukardja menjelaskan berbagai kondisi yang mengiringi perjalanan konstitusi tersebut, antara lain dilihat dari segi geografis, demografis, dan situasi sosial, ekonomi, budaya, dan agama.

1. Kondisi Geografis
Dilihat dari kondisi geografis, jazirah arab memiliki kondisi daerah yang bergurun pasir luas, yang terbagi menjadi daerah tandus dan daerah subur. Sebagian besar wilayah Arabia termasuk dalam daerah tandus karena dipengaruhi oleh iklim gurun yang sangat panas disiang hari (bisa mencapai 43 derajat celcius) dan sangat dingin di malam hari. Apalagi daerah tersebut jarang dilewati oleh aliran sungai. Beberapa kota utama yang menjadi daya tarik di semananjung Arabia adalah Makkah dan Madinah
Kota Makkah terletak di lembah Hijaz yang menjadi tempat persinggahan para kabilah untuk beristirahat dan berdagang. Salah satu daya tarik dari kota ini adalah air sumur Zam-zam dan Kabah sebagai tempat peribadatan keturunan Ibrahim a.s.
Madinah, dulu Yastrib, terletak di bagian utara Hijaz. Madinah termasuk daerah oasis penghasil kurma dan gandum. Kemungkinan Madinah dibangun bersamaan dengan Makkah oleh bani ‘Amaliqah.
Sebaliknya, Indonesia adalah negeri kepulauan subur di Asia Tenggara yang terletak diantara dua benua dan dua samudra. Luasnya lebih kecil dengan semenanjung Arabia. Indonesia beriklim laut tropika dengan curah hujan teratur disepanjang tahun. Karena letaknya yang sangat strategis, Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang melimpah sehingga banyak menarik para pedagang dari luar untuk berniaga dengan penduduk Indonesia.
Letak geografis antara bangsa Arab dan Indonesia membawa pengaruh cukup besar terhadap karakter masyarakatnya. Pada umumnya masyarakat yang tinggal di daerah yang beriklim panas, seperti bangsa Arab, mempunyai karakter yang keras dibanding masyarakat yang beriklim lebih rendah. Hal tersebut berimbas pada perilaku masyarakat Arab yang pada saat sebelum datangnya piagam Madinah sering diwarnai perselisihan dan peperangan antar sukunya.
2. Kondisi Demografis
Jazirah Arab dihuni oleh bangsa Arab, yang termasuk dalam rumpun bangsa semit dan merupakan keturunan dari Sam ibnu Nuh a.s. Bangsa Arab terbagi menjadi dua bagian besar yaitu bangsa arab al badiyah yang sudah punah sebelum datangnya Islam dan bangsa arab Baqiyah yang masih ada sampai sekarang.
Khusus Makkah, kabilah Quraisy merupakan kabilah terakhir dan mayoritas yang menguasai Makkah sebelum lahirnya Islam. Kabilah tersebut terdiri dari kelompok atau klan yang sering berselisih paham untuk memperebutkan urusan kemasyarakatan terutama yang berkaitan dengan urusan ziarah ke Kabah.
Sesuai dengan sifat tempat hidupnya, penghuni jazirah arab dibagi atas dua golongan yaitu penduduk badui (nomadic folks) yang hidup di berpindah-pindah hidup di gurun sahara dengan penduduk kota (settled folk).
Sedangkan Indonesia pada masa prasejarah didiami oleh rumpun bangsa austronesia dari Burma, Muangthai, dan Malaka. Sampai abad IX Masehi, wilayah Indonesia mendapat pengaruh besar akan datangnya pedagang dari India dari segi kebudayaan, ekonomi, politik, dan agama. Selanjutnya berdatangan pula pengaruh Hindu, Budha, Islam, dan Nasrani akibat akulturasi budaya yang dibawa pedagang dari luar.
Letak geografis antara bangsa Arab dan Indonesia yang sangat strategis juga membawa pengaruh cukup besar terhadap perkembangan politik dan budaya masyarakatnya pada saat itu. Akulturasi budaya dan agama lewat perniagaan dan pernikahan, yang dibawa oleh pedagang dari luar, menyebabkan pergeseran paham kebangsaan yang semula sempit menjadi melebar .
3. Kondisi Agama, Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Dilatar belakangi oleh kondisi padang pasir yang keras menyebabkan masyarakat Arab berperangai keras pula. Hal tersebut yang menyebabkan mereka sangat suka berperang antar kelompok, antar suku, antar kabilah. Loyalitas terhadap suku (asabiyah) merupakan faktor penyebab perang disamping balas dendam dan perebutan sumber penghidupan. Mata pencaharian orang badui yang nomadik adalah beternak, berburu, dan merampok. Sedangkan mata pencaharian bangsa Arab Hadar (settled folk) adalah berdagang dan bertani.
Sampai masa diturunkannya Al-Quran pada awal abad VII Masehi, bangsa Arab pada umumnya tidak dapat membaca menulis (ummiyyun). Hanya sebagian kecil yang bisa. Ilmu perbintangan, mencari jejak kaki, dan pengetahuan akan nasab merupakan kebanyakan keahlian yang dipunyai bangsa arab.
Kebiasaan buruk yang dipunyai bangsa arab pada waktu itu adalah suka minum khamar, berjudi, bertenung, mengubur anak perempuan hidup-hidup, dan berpoligami tanpa batas, bahkan anak dapat mewarisi janda ayahnya.
Kabilah Quraisy merupakan kabilah terakhir yang menguasai Mekah sebelum datangnya Islam. Beberapa aspek penting yang mempengaruhi tindakan politik mereka atas urusan kota Mekah antara lain :
1. Terjadi aliansi antar suku tetapi seringkali terjadi perselisihan di antara mereka sehingga kabilah Quraisy sering dijadikan penengah;
2. Terdapat organ pemerintahan di Makkah yang disebut Mala yang terdiri dari beberapa para tokoh suku yang membicarakan kepentingan bersama;
3. Kemampuan Quraisy dalam berperang diakui kabilah lain;
4. Warga Mekkah bersikap netral terhadap perselisihan antara Persia dan Byzantium, meskipun masih tetap menjalankan hubungan yang baik dengan warga Byzantium.
Dikarenakan kondisi geografisnya yang sangat menguntungkan dan dianugerahi sumber daya alam yang melimpah ruah, masyarakat Indonesia tidak hidup berpindah-pindah seperti bangsa Arab. Mayoritas mereka hidup menetap selama berabad-abad sampai sekarang. Sebagaian besar bertani. Profesi lain adalah pedagang, nelayan, peternak, pengrajin, dan lain-lain.
Pada mulanya kerajaan di nusantara bermula dari negara kota dari wilayah pesisir pantai menjadi wilayah kerajaan. Salah satu kerajaan besar yang berlokasi di pesisir pantai adalah sriwijaya yang bercorak Budha. Sedangkan di jawa bagian tengah dan timur berdiri negara agraris seperti Mataram Kuno, Singosari, Kediri dan mencapai puncaknya pada era majapahit pada abad XV.
Sama halnya dengan kondisi di Arab, banyaknya kerajaan di Indonesia yang berbeda visi dan misi dan belum adanya rasa persatuan dan kesatuan di antara mereka menyebabkan para agressor seperti Portugis, Belanda, dan Jepang dengan mudah memecah belah selama lebih dari tiga setengah abad lewat politik devide et empera.
Dalam perkembangan jaman, hal tersebut menimbulkan kesamaan nasib dan tujuan dari berbagai suku bangsa untuk mempertahankan wilayahnya dari common enemy yang ingin merebut wilayah kedaulatan bangsa Indonesia.
B. Format dan Materi Konstitusi
Sebelum diadakannya amandemen UUD 1945 sampai keempat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, format konstitusi tersebut tersusun dari tiga bagian yaitu (1) Mukadimah/Pembukaan UUD 1945, (2) Batang Tubuh/Pasal per pasal yang terdiri dari 16 bab dan 37 ayat, ditambah Aturan Peralihan yang memuat empat pasal, dan Aturan Tambahan yang terdiri dari dua ayat, serta (3) penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Format Piagam Madinah, seperti yang tercantum dalam kitab Shirah al-Nabiyy karangan ibn Hisyam, tersusun secara bersambung, tidak terbagi atas pasal per pasal dan bukan berbentuk syair. Namun banyak ilmuwan Muslim maupun non-Muslim mengutip seluruh naskah dan membaginya menjadi 47 pasal.
Apakah materi Piagam Madinah dan UUD telah memenuhi syarat pokok sebagai suatu konstitusi seperti yang dikemukakan oleh Mr. J. G. Steenbeek? Hal tersebut dapat dilihat dalam muatan yang terkandung dalam pasal per pasal konstitusi tersebut. Jika dikaji secara mendalam, maka akan dapat digambarkan tentang karakteristik masyarakat dan negara pada masa-masa awal dan perkembangannya yaitu :
1. Masyarakat pendukung konstitusi tersebut adalah masyarakat yang majemuk yang terdiri atas berbagai suku dan agama dan diakui eksistensinya oleh konstitusi. Hal tersebut tersirat pada pasal 1 Piagam Madinah bahwa kesetiaan kepada masyarakat yang lebih luas lebih pening daripada kesetiaan yang sempit terhadap sukunya. Jika dibandingkan dengan pasal 1 ayat (1) UUD 1945 maka negara Indonesia juga adalah negara kesatuan yang penduduknya lebih multi etnik dan multi kultur dibandingkan dengan bangsa Arab.
2. Baik Piagam Madinah dan UUD 1945 sangat mendukung semangat Hak Asasi Manusia. Hal tersebut dapat dilihat pada Piagam Madinah, antara lain pada:
- Pasal 14: seorang mukminin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran membunuh orang kafir.
- Pasal 16: sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang mukminin tidak terzalimi dan ditentang olehnya.
- Pasal 21: barangsiapa membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dibunuh, kecuali wali si terbunuh rela menerima diat.
- Pasal 25-33 berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi kaum Yahudi dan muslimin.
- Pasal 2 dan 10 tentang kebebasan untuk menjalankan hukum adat sebagaiman lazimnya mereka dulu seperti pembayaran diat atau tebusan.
Sedangkan dalam UUD 1945 pasca amandemen IV, negara sangat menjunjung tinggi HAM. Bahkan dibuat bab khusus yang berkaitan dengan HAM. Hal ini terbukti dengan banyaknya pasal yang mencantumkan hak kewarganegaraan bagi masyarakat, antara lain pada:
- Pasal 27 yang berkaitan dengan persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan upaya pembelaan Negara
- Pasal 28 disebut juga sebagai pasal HAM, yang berkaitan dengan kemerdekaan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, hak untuk berkeluarga, hak anak untuk tumbuh dan berkembang, hak mendapatkan pendidikan, hak beragama, hak memperoleh informasi, serta hak atas perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya.
3. Piagam Madinah menekankan kewajiban untuk bela negara dengan harta dan jiwa terhadap setiap agressor yang mengganggu stabilitas negara (pasal 24, 36-38). Kewajiban bela Negara pada UUD 1945 terdapat pada pasal 30 ayat (1).
4. Sistem pemerintahan yang dianut oleh masyarakat Arab adalah desentralisasi, dengan Madinah sebagai pusatnya (pasal 39: sesungguhnya Yasrib itu tanahnya “haram” (suci) bagi warga piagam ini). Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan sistem desentralisasi pemerintahan Indonesia yang mulai menemukan bentuknya pasca reformasi 1998 (pasal 18, 18A, dan 18B).
Pada waktu pertama kali dibuat, UUD 1945 telah memenuhi syarat formal perundang-undangan dengan diumumkannya Peraturan Pemerintah RI No.1 tanggal 10 Oktober 1945 tentang Pengumuman dan Berlakunya Peraturan Pemerintah dan selanjutnya dimuat dalam berita RI Tahun II No.7 halaman 45-49.
C. Implementasi Konstitusi
Sebelum era Muhammad saw datang, bangsa Arab tidak mempunyai kesiapan untuk melakukan perubahan yang besar dan mendasar. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman seperti yang terjadi pada budaya bangsa lain. Mereka masih terpecah-pecah dalam kesukuan atau primordialisme mereka sangat tinggi sehingga mereka tidak mempunyai kesatuan bangsa, kesatuan politik, serta tidak mempunyai dasar dan tujuan yang sama.
Langkah awal Muhammad saw dalam menyatukan kemajemukan golongan setibanya di Madinah antara lain dengan membangun masjid Quba yang menjadi sarana ibadah dan pusat pertemuan kaum muslimin. Selanjutnya mempersaudarakan kaum muhajirin dan kaum anshar dan meletakkan dasar tatanan kehidupam masyarakat dengan mengikutsertakan semua elemen masyarakat termasuk kaum Yahudi dan Musyrikin.
Dua tindakan Muhammad saw setibanya di Madinah telah membuktikan bahwa dia telah melaksanakan dua pokok doktrin Islam yaitu hubungan manusia dengan pencipta-Nya dan hubungan manusia dengan manusia.
Sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan , Muhammad saw berhasil membangun peradaban bangsa Arab yang semula hidup dalam masa jahiliyah menjadi masyarakat yang santun. Primordialisme, fantisme, dan egoisme secara perlahan mereka tinggalkan sejalan dengan ikatan persaudaran yang terjalin di antara mereka.
Pembinaan persatuan dan kesatuan, pemeliharaan ketertiban dan keamanan, pembinaan hukum, kebebasan beragama, perdamaian, dan penerapan sanksi merupakan bagian dari urusan negara dan pemerintahan yang dilakukan Muhammad saw selama hidupnya di Madinah.
Piagam Madinah bukan hanya mengikat kaum muslimin sebagai komunitas utama yang menjadi sasaran pelaksanaannya, melainkan juga para musyrikin dan yahudi yang hidup di sekitar kaum muslimin. Hak dan kewajiban semua golongan diluar kaum muslimin terlindungi. Kepentingan mereka dalam menjalankan urusan agama, ekonomi, dan sosial tidak akan diganggu dan dianiaya selama mereka patuh dan taat terhadap ketentuan yang termaktub dalam Piagam Madinah. Mereka hanya dikenakan jizyah sebagai kewajiban warga negara dan jaminan keamanan terhadap mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, banyak tantangan dan permasalahan yang timbul dalam upaya memecah persatuan dan kesatuan masyarakat Arab antara lain adanya gangguan dari kaum munafik dan dari orang yang mengaku sebagai nabi. Kewajiban untuk memerangi kaum munafik bukan hanya dibebankan pada kaum muslimin saja tetapi juga bagi kaum yahudi termasuk biayanya (Pasal 24 Piagam Madinah).
Selain mempertahankan eksistensi diri dari gangguan luar, Muhammad saw melakukan ekspedisi keluar Madinah untuk mempertahankan diri, bukan memprovokasi apalagi menjajah kaum di luar Islam. Mematahkan kekuatan musuh sebelum sempat diserang merupakan salah satu strategi dari Muhammad saw. Sasaran ekspedisi militer ditujukan hanya untuk pasukan Quraisy yang sejak semula memusuhi Muhammad saw beserta kaumnya. Bangsa Arab juga berusaha merebut wilayahnya kembali dari penguasaan negara lain, seperti Imperium Romawi dan Persia yang menguasai sebagian jazirah Arab.
Bukti toleransi Muhammad saw tercermin dari diberikannya kebebasan beragama bagi para penganutnya, baik kaum Yahudi dan Nasrani, untuk menjalankan ibadah (Pasal 25 Piagam Madinah). Tidak ada paksaan untuk mengikuti Islam sebagai agama baru. Dialog teologis antar pemuka agama juga dilakukan untuk menyamakan prinsip ke-Esa-an yang menjadi ajaran utama dari agama samawi. Kalaupun tidak ada kesapakatan dalam forum dialog tersebut, Muhammad saw tidak memusuhi dan memerangi kaum lain yang berbeda aqidah. Yang diperangi adalah mereka yang sejak semula mengganggu dan memusuhi kaum muslimin (Pasal 13 Piagam Madinah). Perang disini adalah bukan perang yang disebabkan perbedaan agama, melainkan karena pengkhianatan poltik, yang kebetulan dilakukan oleh kaum musyrikin.
Bukti lain bagi kebebasan beragama yang dicontohkan Muhammad adalah diberikannya amnesti umum bagi kaum musyrikin Quraisy pasca jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum Muslimin. Kaum Quraisy tidak dipaksa untuk mengikuti agama Islam. Tujuan penalukkan Makkah adalah upaya membersihkan Kabah dari perilaku kemusyrikan, bukan memaksa orang musyrikin untuk mengikuti Islam.
Fokus perbandingan UUD 1945 dengan Piagam Madinah terletak pada keterkaitan agama dengan negara dan sejauh mana implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Landasan yuridis konstitusional yang menjadi keterkaitannya adalah sila pertama Pancasila dan Bab XI UUD 1945 tentang Agama.
Sebagai negara yang berasaskan Pancasila, pemerintah Indonesia tidak melepaskan tanggung jawabnya sebagai urusan negara, walaupun Indonesia tidak identik dengan agama tertentu. Keterkaitan antara agama dengan negara dapat dilihat dari banyaknya lembaga keagamaan, peraturan perundang-undangan yang menyangkut agama dan kehidupan beragama antar umat yang harmonis dan penuh toleransi.
Menurut Mohammad Hatta, Pancasila terdiri dari dua lapis fundamen, yaitu fundamen politik dan fundamen moral (agama). Penempatan dan fungsi Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 merupakan grundnurm (norma dasar), bukan hanya bagi norma hukum tetapi juga bagi seluruh norma kehidupan bangsa Indonesia lainnya, seperti etik dan moral. Hukum dan moral bersenyawa seperti yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 29 UUD 1945.
Perdebatan mengenai keterkaitan agama dengan negara pernah mengemuka lewat adu argumen antara Muhammad Hatta dengan Soekarno. Persoalan timbul mengenai kedudukan sila Ketuhanan dan orientasi keagamaan dalam kaitannya dengan materi dan pengamalan sila tersebut. Soekarno memandang bahwa Ketuhanan bukan sesuatu yang bersifat tetap sehingga cukup ditempatkan pada urutan kelima Pancasila. Sedangkan Hatta menganggap bahwa Sila Ketuhanan mendasari sila-sila yang lain sehingga pantas menjadi sila pertama Pancasila.
Menurut mantan presiden RI kedua, Soeharto, agama merupakan landasan etik, moral, dan spiritual bagi pelaksanaan pembangunan nasional bangsa Indonesia. Pembangunan fisik dan non fisik yang berkaitan dengan agama diwujudkan dalam:
1. Pembentukan Institusi Keagamaan
a. secara resmi dibentuk oleh pemerintah, antara lain Departemen Agama, lembaga pendidikan keagamaan negeri (Madrasah Ibtidaiyah/Tsanawiyah/Aliyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Sekolah Tinggi Teologi Negeri, Sekolah Tinggi Agama Hindu), dan Peradilan Agama;
b. atau atas ijin pemerintah, antara lain lembaga pendidikan keagamaan swasta, Lembaga Pengembangan Tilawah Al-Quran (LPTQ), dan Bank Muamalat Indonesia (BMI).
2. Peraturan Perundang-undangan yang berisi aturan mengenai:
a. Hukum Perkawinan
b. Hukum Kewarisan
c. Perwakafan
d. Penyelenggaraan Perjalanan Haji
3. Pembentukan Forum Konsultasi antar Umat Beragama disamping organisasi umat beragama di tingkat pusat seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majelis Agung Wali Gereja (MAWI), Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP), Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI).










BAB IV KESIMPULAN
Dari kajian perbandingan yang ditulis Ahmad Sukarja, dapat disimpulkan bahwa situasi dan kondisi pada waktu pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 relatif tidak mengalami hambatan berarti dari masyarakat Indonesia dibandingkan dengan pembentukan Piagam Madinah pada awal hijrahnya Muhammad saw ke Madinah. Meskipun bangsa Indonesia kala itu terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama tetapi karena tingginya kesadaran dan sikap toleransi para pemimpin bangsa yang mayoritas beragama Islam, UUD 1945 secara meyakinkan dapat dibentuk.
Dalam pelaksanaan Piagam Madinah seringkali terjadi intimidasi dan pengkhianatan di internal masyarakat Madinah. Sentimen keagamaan sering dihembuskan oleh pihak di luar komunitas untuk memecah belah antar umat beragama.
Hal tersebut berbeda dengan bangsa Indonesia yang lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Jarang terjadi kerusuhan dan perselisihan di antara umat beragama. Kalaupun terjadi, biasanya diakibatkan karena kesalahpahaman atau fanatisme agama secara membabi buta segelintir orang. Bukan faktor agama yang bisa menyebabkan perselisihan, namun faktor ekonomi dan politik yang menjadi penyebabnya sehingga negara asing kesulitan untuk memecah belah ikatan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Dari berbagai uraian dan teori yang dikemukakan penulis terhadap isi disertasi Ahmad Sukarja mengenai Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif peranan agama dan nilai-nilai universal terhadap pembentukan konstitusi tersebut.
Dari berbagai literatur yang menjadi rujukan penulis untuk mengkaji disertasi Ahmad Sukarja, syarat materiil maupun formil telah terpenuhi dari format maupun isi kedua konstitusi tersebut. Syarat materiil kedua piagam tersebut terlihat pada aspek keadilan yang sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia serta prinsip dasar yang diperlukan untuk menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan syarat formil terpenuhi lewat proses musyawarah dalam memutuskan materi dan format konstitusi. Secara khusus, UUD 1945 telah memenuhi syarat formil perundang-undangan dengan ditempatkannya dalam berita negara.
Secara paripurna, Piagam Madinah tidak dapat memenuhi salah syarat pokok konstitusi seperti yang dimiliki negara lain yaitu adanya pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekuif, dan yudikatif. Namun di lain pihak, Piagam Madinah telah memenuhi ciri-ciri sebuah konstitusi yaitu berbentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan masyarakat, adanya kedaulatan negara yang dipegang Muhammad saw, serta adanya prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental, yaitu mengakui kebiasaan (adat) dan hak warganya serta menetapkan kewajiban bagi warganya.
Sebaliknya, diperlukan tahapan yang panjang sampai dengan amandemen keempat untuk membuat pembaharuan materi dalam UUD 1945 agar memenuhi syarat sebagai sebuah konstitusi modern dan prasyarat dalam menjamin pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat madani.
Banyak faktor yang mempengaruhi konstitusi pada awal pembentukannya mulai dari segi geografis, demografis, sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Para pembuat konstitusi harus memahami karakter masyarakat serta nilai atau norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang majemuk. Kondisi tersebut mau tidak mau menyebabkan pembentukan konstitusi menjadi lebih kompleks karena pihak yang membuatnya harus mengakomodasi berbagai kepentingan golongan yang majemuk. Muhammad saw harus bersikap adil dan bijaksana untuk memenuhi kepentingan masyarakat minoritas, disamping umat muslim sebagai mayoritas. Para bapak bangsa juga rela untuk menghilangkan beberapa kalimat dalam Piagam Jakarta yang berisi pernyataan untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Walaupun piagam Madinah dan UUD 1945 dibuat oleh orang Islam namun tidak berarti komunitas agama lain terabaikan kepentingannya. Kedua konstitusi tersebut lebih menekankan isi yang Qurani dan Islami ketimbang mencantumkan istilah Islam dalam bunyi pasal-pasalnya.
Namun demikian, bagi masyarakat Indonesia, agama merupakan masalah yang sangat sensitif dan prinsipil. Perdebatan tentang nasionalisme dan negara Islam tidak pernah selesai untuk dibahas dan dirumuskan sepanjang sejarah konstitusi Indonesia. Tuntutan untuk mempertahankan ideologi negara nasionalis Pancasila dan pasal 29 UUD 1945 merupakan pilihan yang lebih disukai oleh mayoritas kelompok sosial di Indonesia.
Oleh sebab itu kemungkinan untuk membakukan ketentuan dalam Pembukaan dan pasal 19 UUD 1945 harus dipertimbangkan masak-masak guna mengatasi sulitnya hubungan antara Islam dan negara di kemudian hari. Ini berarti secara eksplisit Pembukaan dan pasal 19 UUD 1945 diidentifikasi sebagai aturan yang tidak dapat diubah (non-amendable provisions).
Negara tidak boleh mencampuri terlalu jauh apa yang menjadi domain publik seperti tata cara peribadatan. Negara hanya dapat menjamin kebebasan beragama para pemeluknya sesuai dengan syariatnya. Institusi negara tidak dimaksudkan untuk mengambil alih fungsi kemasyarakatan, yang secara alamiah dapat dikerjakan sendiri secara efektif dan efisien oleh masyarakat. Masyarakat diberikan peluang untuk memberdayakan diri (self development) dan menentukan apa yang terbaik bagi mereka. Sehingga diharapkan Undang-undang Dasar dapat berfungsi efektif sebagai sarana pembaharuan (tool of reformation) yang bertahap dan berkesinambungan untuk mewujudkan masyarakat madani.
Dengan demikian apa yang menjadi perhatian Ahmad Sukarja terhadap kajian perbandingan UUD 1945 terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam Madinah dapat diambil pelajaran oleh kalangan akademisi, poltikus, dan masyarakat bahwa keputusan untuk mempertahankan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi adalah final.
Adanya pembaruan dalam materi dan format konstitusi adalah wajar adanya karena tidak ada negara yang mampu bertahan terhadap dinamika masyarakat yang semakin mengglobal. Senyampang perubahan tersebut tidak berkaitan dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, amandemen UUD 1945 sah-sah saja dilakukan asal sesuai prosedur yang konstitusional.
Sebuah konstitusi yang tidak membuka ruang untuk dilakukan amandemen, maka jati dirinya akan tergerus oleh jaman, sehingga akan kehilangan daya ikat keberlakuannya sebuah supremasi konstitusi.
[1] Azhari, Muhammad Thahir. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana, 2004, hal.89.

[2] Asshidiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Konpress, 2006, hal.2
[3] Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty,2000, hal.51
[4] Azhari, Muhammad Thahir. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana, 2004, hal.13.

[5] Azhari, Muhammad Thahir. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana, 2004, hal.15.
[6]Appledorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Pradnya Paramita, 1980, hal.433.
[7] Azhari, Muhammad Thahir. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana, 2004, hal.67.
[8] Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 1999, hal.24